Rabu, 02 Juli 2014

Nasib Kesehatan Rakyat Miskin di Indonesia



MASIH KAH KITA PERDULI TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN DI INDONESIA ??
 


Sebagai warga negara, rakyat miskin mempunyai hak dasar yang melekat pada dirinya untuk mendapatkan pemeliharaan hidup oleh negara, termasuk memelihara kesehatan, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dasar negara, UUD `45, Pasal 28 H.
Sebagai konsekuensinya, tentu negara harus bertanggung jawab melindungi, menjaga, dan memelihara kesehatan seluruh warganya tanpa kecuali dan khususnya warga negara yang hidup dalam deraian kemiskinan dan selalu rentan terhadap aneka jenis penyakit.
Mereka yang hidup dalam kecukupan tentu akan memelihara kesehatannya melalui asupan gizi yang berkecukupan dengan sistem pemeliharaan kesehatan yang juga memadai. Namun, bagi si miskin, persoalan pemeliharaan kesehatan, hingga keluar dari idapan penyakit akan menjadi lain, di tengah ketidakmampuan mereka terhadap akses pelayanan kesehatan serta himpitan beban ekonomi.
Di sinilah negara harus bertindak secara tepat sasaran untuk meringankan beban penderitaan rakyat miskin. Baik pemberdayaan secara ekonomi, hingga meringankan beban warga negara miskin, yang juga terhimpit penyakit akibat kemiskinan itu sendiri.
Konstitusi dasar negara UUD 1945, sesuai amandemen Pasal 33 dan 34, mengamanatkan agar negara memberikan perlindungan atau jaminan sosial bagi seluruh rakyat yang tidak mampu dan lemah, atau yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, Presiden Susilo Bambang  Yudhoyono sebagai kepala negara sekaligus pimpinan eksekutif, wajib menjalankan amanat UUD 1945, melalui berbagai program sistematis bagi orang miskin.
Harus diakui, berbagai program untuk rakyat miskin telah diluncurkan dari rezim ke rezim. Sebut saja program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Asuransi Rakyat Miskin (Askeskin) di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla, yang kini disibukkan oleh mandeknya klaim pembayaran, serta penarikan pengelolaan Askeskin dari PT Askes ke tangan Depkes oleh Menkes Siti Fadilah.
Umumnya program untuk rakyat miskin, baik bersifat crash atau sustain (berkesinambungan), kerap mengalami persoalan implementasi di lapangan dan berakhir pada salah sasaran, pemborosan hingga penyelewengan anggaran. Termasuk banyaknya penikmat fasilitas rakyat miskin oleh mereka yang tidak miskin karena lemahnya pengawasan dan rendahnya kesadaran publik akan haknya.
Persoalan klasik dan mendasar kerap pada patokan (benchmark) ketersediaan dan kesahihan data/jumlah rakyat miskin yang digunakan instansi pemerintah, dalam mengeksekusi aneka program tersebut. Padahal, anggaran untuk program-program sejenis bisa menghabiskan puluhan triliun rupiah.
Sebut saja program Askeskin yang efektif berlaku sejak tahun anggaran 2005, sebagai embrio implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional sesuai amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN,  ditujukan untuk mewujudkan Jaminan Kesehatan Nasional dan menyeluruh (universal coverage), sekaligus meningkatkan aksesibilitas masyarakat miskin dan tidak mampu memperoleh pelayanan kesehatan berkualitas.
Namun, dalam pelaksanaannya, koordinasi, verifikasi, hingga pemutakhiran data rakyat miskin, yang seyogianya jadi pijakan dasar program, seringkali dianggap enteng oleh instansi pelaksana, mulai dari tingkat daerah hingga jajaran pusat atau tingkat kementerian.
Angka Rakyat Miskin 


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7MEPjewRNotrGj3_Kb2VlxrK1Wkbln7gILXX2SX32bC1Fc2tvFYEwmQQLIkwFY8FjptNBrL_wgW9wKpnFBsyES1UUsciTwp3P1ad1h8Hk6yuCiCmcWoMGveXN6sU8KkmWa20BwsZimYI/s320/13260020861878957122.jpg

Walau menjadi kewajiban negara untuk mengimplementasikan amanat konstitusi terhadap warga negara yang hidup dalam kemiskinan, tentu goodwill negara untuk merealisasikan asuransi kesehatan rakyat miskin (Askeskin), patut diapresiasi.
Sejak tahun pertama 2005, terdapat Rp 2.3 triliun alokasi dana Askeskin. Dan berturut tahun 2006 sebesar Rp 3,6 triliun, 2007 Rp 2,2 triliun dan untuk 2008 telah dianggarkan Rp 4,6 triliun. Artinya, total anggaran mencapai Rp 12,7 triliun, sementara jumlah rakyat miskin yang harus di-cover tahun ini sebanyak 76,4 juta orang, atau sekitar 30 persen dari total penduduk Indonesia.
Menarik mencermati angka-angka yang dipaparkan instansi pemerintah dalam cakupan rakyat miskin. Badan Pusat Statistik-BPS, misalnya, pada awal Juli 2007 melansir jumlah penduduk miskin hingga Maret 2007 sebanyak 37,17 juta jiwa, atau mengalami pengurangan sebesar 2,13 juta jiwa. Artinya, sekitar 16,58 persen dari 224,177 juta penduduk Indonesia. Hitungan matematika sederhana, angka ini mengalami penurunan jumlah rakyat miskin dicatatkan lembaga yang sama pada Maret 2006 sebanyak 39,30 juta atau 17,75 persen dari 221,328 juta total penduduk Indonesia saat itu.
Apakah angka ini menjadi rujukan instansi-instansi pemerintah dalam membuat dan menjalankan program bagi rakyat miskin? Jawabannya mungkin “tidak”. Kalau melihat pemaparan dari pelaksanaan program Askeskin oleh PT Askes (Persero) yang ditunjuk melalui SK Menkes No.1241/Menkes/ SK/X/2004, juncto 1202/Menkes/SK/VIII/2005, sebagai pelaksana tunggal Program Askeskin dengan bayaran management fee sebesar 5 persen dari hampir Rp 8 triliun total dana Askeskin hingga 2007 yang dikucurkan pemerintah, maka jumlah rakyat miskin sebagai peserta Askeskin akan mencengangkan bila dibandingkan paparan BPS.
Menurut PT Askes, jumlah kepesertaan rakyat miskin dalam Program Askeskin berdasarkan data Gakin (keluarga miskin) yang kemudian dikoordinasikan dengan pemda, pada semester I 2005 sebanyak 36 juta jiwa. Semester II 2005 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 60 juta jiwa. Pada 2006 sebanyak 60 juta jiwa, sedangkan 2007 menjadi 76,4 juta jiwa dari 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) dengan asumsi masing-masing anggota keluarga 4 orang. Anehnya lagi, dalam pengelolaan anggaran Askeskin 2008 sebesar Rp 4,6 triliun, jumlah rakyat miskin tidak bergerak alias tetap di posisi 76,4 juta jiwa.
Perhitungan Depkes sebagai pengelola baru Askeskin, dana yang tersedia diperkirakan mampu meng-cover sekitar 41 juta rakyat miskin. Artinya nasib sekitar 35,4 juta siap-siap terkapar akibat tidak mendapatkan akses kesehatan. Kalau beranjak dari perbandingan data-data BPS dan PT Askes/Depkes menyangkut keberadaan rakyat miskin, terlihat jelas perbedaan signifikan, sebesar 37,23 juta jiwa atau lebih dari dua kali lipat jumlah rakyat miskin versi BPS. Artinya, kalau ikut versi PT Askes/Depkes, maka rakyat miskin yang berhak mendapatkan Askeskin, hampir 33 persen dari total penduduk Indonesia, atau setara dengan total penduduk Mesir, yang jumlahnya 76 juta lebih, sesuai versi CIA World Factbook 2004.
Selisih 37 jutaan tentu bukanlah angka kecil, apalagi menyangkut anggaran negara yang akan dialokasikan dalam program kesehatan rakyat miskin. Bayangkan, jika masing-masing dialokasikan biaya berobat dan pemeliharaan kesehatan setiap bulan Rp 9.000, maka untuk jumlah tersebut dibutuhkan biaya sebesar Rp 333 miliar yang harus ditanggung anggaran negara atau hampir Rp 4 triliun dalam satu tahun.
Namun, melihat kekacauan dari pendataan, yang akhirnya berakibat pada amburadul dan tumpang-tindihnya pelaksanaan, membuktikan kurangnya awareness dari pelaksana atas data yang diikuti indikator-indikator dan kriteria yang digunakan dalam menentukan apakah seseorang masuk kategori miskin atau tidak.
Seharusnya, pelaksana kebijakan lebih tanggap dan peduli pada persoalan data melalui instrumen perhitungan dengan metode memadai secara ilmiah dan akurat agar bisa menjadi pedoman dalam mengimplementasikan setiap program termasuk kebijakan politik anggaran. Belum lagi realitas sosial menunjukkan, kemiskinan tidak bisa sekadar diukur dengan kacamata statistik belaka, tetapi berbagai faktor dan indikasi di lapangan harus menjadi pertimbangan, termasuk faktor geografi tempat rakyat miskin berada.
Persoalan kemiskinan dan kesehatan merupakan masalah besar yang dihadapi Indonesia dan juga dunia. Kita hanya mengingatkan agar Presiden Yudhoyono tidak menganggap enteng realitas kemiskinan di republik ini. Sebagai presiden yang juga dipilih langsung rakyat miskin, saatnya Yudhoyono menjamin adanya perlakuan memadai dan berdaya guna bagi kelangsungan kesehatan rakyatnya.
Kemiskinan dan kesehatan, dua hal yang tidak terpisahkan. Musuh terbesar dari kesehatan dalam membangun dunia adalah kemiskinan itu sendiri. Seperti diungkapkan Kofi Annan dalam pidatonya sebagai Sekjen PBB di World Health Assembly 2001, The biggest enemy of health in the developing world, is poverty. Pertanyaannya, bagaimana menangani nasib rakyat miskin, kalau jumlahnya saja masih simpang-siur, bahkan pengelolaannya berorientasi proyek dan lupa akan substansi?

sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar