Rabu, 02 Juli 2014

Opini :

Korupsi dan Institusi Publik Kita

                   Baru-baru ini Transparansi Internasional (TI) merilis data survei tentang institusi-institusi korup Indonesia. Hasil survei TI yang diselenggarakan September 2012 hingga maret 2013 menunjukkan intitusi-intitusi politik, birokrasi, swasta, dan sosial masih dilingkari penyakit kronis korupsi. Ironisnya, institusi penegak hukum (Polri) dan pembuat peraturan hukum (Parlemen) berada di posisi terkorup dari institusi-institusi lainnya. Sejatinya institusi-institusi tersebut adalah ruang dimana hukum dan keadilan dapat ditegakkan.
                   Korupsi seolah membudaya dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Kasus korupsi bermunculan dari berbagai level pemerintahan dan terjadi diberbagai institusi manapun. Dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, misalnya, acapkali para pemilik kekuasaan memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri. Kasus korupsi terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik ini terjadi di tingkat pemerintah pusat dan daerah serta dilakukan pejabat level bawah hingga tertinggi. Dalam proses politik juga menjadi ruang subur tumbuhnya korupsi. Para pemangku kepentingan menjadikan kepentingan pribadi dan kelompok sebagai landasan pembentukan kebijakan sehingga mengarah kepada keuntungan pribadi dan kelempok tertentu, bukan kepentingan publik.
                   Hemat saya proses penentuan kebijakan (proses politik) dan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi satu kesatuan ruang yang saling mendukung pembudayaan korupsi. Kedua ruang tersebut saling terkait dalam memperkuat gerakan tindakan korupsi. Berikut ini penulis menguraikan bagaimana wajah ruang politik penuh dengan permainan kepentingan yang mengarah kepada tindakan korupsi. Dan selanjutnya penulis menguraikan bagaimana wajah ruang pelayanan publik syarat dengan tindakan korupsi. Kedua ruang ini syarat dengan tindakan transaksional yang menguntungkan para pemangku kepentingan khususnya yang memiliki akses kekuasaan dan kewenangan.
Proses Politik dan Institusi Korup
                   Proses politik dalam penentuan kebijakan merupakan ruang dimana pemangku kepentingan seperti eksekutif, legislatif, pengusaha, dan masyarakat sipil secara bersama-sama menentukan kebijakan publik. Para pemangku kepentingan berinteraksi untuk membicarakan bentuk dan muatan kebijakan yang akan disepakati bersama. Sebagai negara demokrasi, interaksi pemangku kepentingan dalam proses penentuan kebijakan dipandang sebagai hal yang wajar, dan tentunya interaksi tersebut harus berlandaskan nilai-nilai demokrasi. Interaksi pemangku kepentingan diarahkan menentukan kebijakan untuk mengatasi persoalan-persoalan publik yang dinilai bermasalah. Pada praktiknya, justru pemangku kepentingan membuat kebijakan untuk memperbanyak adanya persoalan-persoalan publik seperti kemiskinan, pengangguaran, dan persoalan-persoalan sosial lainnya.
                   Hemat saya banyaknya kebijakan bermasalah disebabkan kuatnya pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam penentuan kebijakan. Menurut Lord Acton “kekuasaan yang kuat cenderung korup”. Tesis Acton ini benar-benar nyata terjadi pada lingkaran kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan peran dan fungsinnya sebagai aktor pembuat dan pelaksana kebijakan. Acapkali eksekutif dan legislatif membuat kebijakan terutama membuat kebijakan anggaran (APBN/D) dilandasi kepentingan pragmatis, dimana mereka saling menguntungkan untuk pribadi dan golongan.
                   Budaya korup eksekutif dan legislatif semakin diperkuat adanya peran kelompok-kelompok berjuasi (pengusaha) yang berusaha mempengaruhi dan mengarahkan eksekutif dan legislatif untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menguntungkan mereka secara ekonomi. Fenomena ini tampak nyata dari beberapa kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini. Kasus korupsi daging sapi, misalnya, tidak lepas dari peran borjuisi importer yang berusaha mempengaruhi pemilik kekuasaan dan kewenangan dalam mengatur kebijakan impor daging sapi. Pada kasus ini pengaruh borjuisi begitu kuat hingga menggoyahkan “iman” penguasa untuk melakukan tindakan korupsi. Kasus SKK Migas, juga menjadi contoh nyata adanya peran pengusaha  atau borjuisi yang melakukan upaya kolusif dengan pemilik kekuasaan hingga berakhir pada kesepakatan yang sama yakni mengambil keuntungan besar dari proyek-proyek migas.
                   Proses politik dalam penentuan kebijakan masih menjadi lahan subur bagi oknum-oknum tertentu untuk memperkaya diri. Proses politik tak ubah ruang sandiwara pemilik kekuasaan untuk bercanda tawa di atas penderitaan rakyat. Karena itu, keberadaan institusi-institusi publik kita hanyalah alat bagi oknum-oknum untuk bersandiwara mencari kekayaan. Fenomena ini telah didiskusikan secara serius oleh Karl Marx dan kawan-kawannya. Karl Marx hingga ia mati tidak berkeyakinan bahwa negara (eksekutif, legislative, yudikatif, dan kelompok-kelompok borjuasi) akan memperhatikan kepentingan umum (masyarakat) seperti yang diyakini filosof Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau, Mountesquine, dan Hegel. Justru menurut Karl Marx negara adalah alat kelompok-kelompok penguasa dan burjuasi untuk memperkaya diri serta menindas kelompok-kelompok yang lemah. Pada konteks ini, berdasakan uraian sebelumnya, hemat saya konsepsi Karl Marx tentang negara masih tampak nyata dalam kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia.
Wajah Pelayanan Publik
                   Proses korup penentuan kebijakan seperti yang dijelaskan di atas melahirkan kekecewaan-kekecewaan masyarakat terhadap institusi-institusi publik yang awalnya diharapkan dapat melahirkan kebijakan-kebijakan pro rakyat untuk kemajuan bangsa dan negara. Kekecewaan tersebut semakin diperkuat lagi dengan wajah buruk pelayanan publik yang diselenggarakan oleh intitusi-institusi publik kita. Sejatinya keberadaan institusi-institusi publik adalah untuk melayani masyarakat dengan baik, murah, dan tanpa diskriminasi.
                   Secara normatif pemerintah telah membentuk sejumlah payung hukum untuk menjamin terselenggarannya pelayanan publik yang murah, cepat, dan tanpa diskriminasi. Undang-Undang tentang pelayanan publik mengatur dengan baik mekanisme dan tata cara penyelenggaraan pelayanan publik, bahkan dalam undang-undang tersebut mengatur prilaku dan karakter penyelenggara pelayanan publik seperti bagaimana wajah ditampilkan ketika melayani masyarakat dan bagaimana cara berbicara dan cara senyum kepada masyarakat. Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informas Publik juga menjamin terselenggarannya pelayanan publik yang transparan dan tanpa diskriminatif. Dalam undang-undang KIP ini diatur kewajiban penyelenggara (badan) publik untuk menyampikan informasi publik yang tepat, murah, dan tidak memanipulasi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat berhak untuk mengetahui segala informasi publik termasuk terkait dengan standar pelayanan publik.
                   Pada kenyataannya, justru intitusi publik memanfaatkan fungsi penyelenggaraan pelayanan publiknya untuk mendapatkan keuntungan sehingga pelayanan publik masih sangat mahal dan cenderung diskriminatif. Pelayanan pendidikan dan kesehatan, misalnya, kendati pemerintah telah mengeluarkan kebijakan anggaran 20% untuk pendidikan dan kesehatan namun faktanya masih banyak masyarakat belum mendapatkan pelayanan memadai dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Masih banyak fenomena masyarakat putus sekolah diakibatkan mahalnya biaya pendidikan, dan masih banyak masyarakat yang tidak berobat ke tempat-tempat pelayanan kesehatan karena mahalnya biaya kesehatan. Pelayanan administratif seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk, sertifikat tanah, surat ijin mengemudi, ijin usaha, dan ijin bangunan dinilai masih syarat dengan prosedural dan mahal.    
                   Titik persoalan sulitnya masyarakat mengakses pelayanan publik seperti yang digambarkan di atas adalah dikarenakan paradigma birokrasi pemerintah yang berorientasi prosedur dan biaya. Birokrasi pemerintah ketika melayani masyarakat selalu menyodorkan prosedur-prosedur yang rigid dan membuat masyarakat kebingungan untuk melewatinya sehingga pelayanan publik memakan waktu yang cukup lama dan sulit didapatkan bahkan. Pada sisi lain, birokrasi pemerintah selalu mempermudah pelanggan untuk mendapatkan layanan prima manaka pelanggan memiliki uang untuk membayarnya dan atau memiliki “orang dalam”. Karena itu, pelayanan publik masih syarat unsur diskriminatif. Mayoritas birokrasi pemerintah masih menjadikan fungsi pelayanan publik sebagai alat untuk memperkaya diri.
                   Uraian di atas menggambarkan bahwa ruang politik dan pelayanan publik merupakan dua variabel yang saling bersinggungan dijadikan oleh oknum-oknum tertentu sebagai tempat untuk memperkaya diri sehingga tindakan korupsi berjalan sistimatis dan membudaya. Wajah korup ruang politik dan pelayanan publik membawa dampak serius bagi rusaknya sendi-sendi kebangsaan dan kenegaraan. Karena itu, dibutuhkan langkah-langkah serius seluruh stakeholder bangsa untuk mewujudkan wajah ruang politik dan pelayanan publik yang berkeadaban sehingga menjadi tempat strategis untuk melahirkan kebijakan-kebijakan populis serta pelayanan publik yang berkemanusiaan.
sumber :
Oleh Jainuri, M.Si.
(Dosen FISIP Univ. Muhammadiyah Malang)
 http://lapinda-bidos.blogspot.com/p/opini.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar