Opini :
Apakah Ada Cara Memberantas Korupsi? Jawabannya Ada,
yaitu dengan Memiskinkan Koruptor
-Ilustrasi koruptor di Kartun Benny
(Nasional.Kontan.co.id)
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi telah memutus bersalah Tubagus Chaeri Wardana (Wawan)
pada tanggal 23 Juni 2014 dengan memvonis 5 (lima) tahun penjara dan denda 150
(seratus lima puluh) juta Rupiah subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Dari
dua perkara yang dipersangkakan kepada Wawan hakim menilai alat bukti dan fakta
persidangan telah cukup membuktikan perbuatan penyuapan oleh Wawan kepada M.
Akil Mochtar lewat advokat Susi Tur Andayani. Kedua perkara tersebut memenuhi
unsur pada Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP (kasus sengketa Pilkada Lebak), serta Pasal 13 UU
Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP (kasus sengketa
Pilkada Banten). Adapun tuntutan dari Jaksa yaitu 10 (sepuluh) tahun penjara
dinilai tidak sesuai karena sebelumnya putusan sidang untuk Susi Tur Andayani
adalah selama 5 (lima) tahun penjara yang dinilai oleh Majelis perannya lebih
besar daripada Wawan yang berperan sebagai penyedia dana.
Bagi sebagian
pihak vonis penjara 5 (lima) tahun yang diputus oleh Hakim Tipikor mungkin
dirasa terlalu rendah, dan hal ini telah mencederai rasa keadilan masyarakat
atas korupsi yang dilakukan Dinasti Ratu Atut di Banten. Sebagai penguasa
Banten, publik telah disuguhkan betapa Dinasti ini telah menancapkan kuku
kekuasaan yang berujung dengan peningkatan kesejahteraan yang maha dahsyat dari
Dinasti ini, yang lagi-lagi rasanya denda 150 juta rupiah akan terasa seperti
mengeluarkan sisa daging yang terselip di gigi setelah makan rawon atau sate
kambing.
Media sudah
menayangkan sebegitu hebatnya Wawan yang dengan gampang dan santai memberikan kendaraan-kendaraan
mewah untuk banyak pihak, belum lagi koleksi mobil-mobil mewahnya yang biasanya
hanya kita tahu atau lihat dari majalah, tv, atau media lain, yang bahkan bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia nama atau tipe mobil-mobil itu mungkin baru
pertama kali didengar pada saat ekspos kasus korupsi Wawan ini.
Sebagai orang
awam, mungkin masyarakat harus mahfum, karena seperti kita tahu Wawan sendiri
adalah pengusaha bukan pejabat publik apalagi pejabat negara, yang tidak
seperti Akil Mochtar yang bisa dijatuhi hukuman seumur hidup. Contoh lain Djoko
Susilo yang dihukum 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar serta diperintahkan
membayar uang pengganti senilai Rp 32 miliar oleh Pengadilan Tinggi DKI, atau
malah kasus korupsi pegawai pajak Gayus Tambunan yang total hukumannya adalah
30 tahun penjara untuk 4 (empat) kasus yang berbeda.
Yang menjadi
pertanyaan sekarang adalah, berapa sebenarnya lama hukuman yang bisa kita
harapkan akan divonis oleh hakim tipikor kepada para koruptor?
Jelas jawaban
pertanyaan ini akan bergantung pada banyak faktor, seperti apakah pelaku itu
adalah pejabat yang harusnya menjadi contoh seperti Akil Mochtar, apakah ada
kasus lain yang dituntut kepada koruptor tersebut seperti kasus gayus, atau
adakah tindak pidana lain yang dilakukan seperti Djoko Susilo. Namun sebagai
gambaran, pasal yang biasanya menjerat para koruptor adalah pasal 2 (memperkaya
diri sendiri) dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan denda paling sedikit
200 juta rupiah, pasal 3 (penyalahgunaan kewenangan) dengan hukuman minimal 1
tahun penjara dan/ atau denda paling sedikit 50 juta rupiah. Memang dalam
kondisi kekhususan hakim dapat memutus pidana mati kepada koruptor seperti yang
tertuang pada pasal 2 ayat (2), dan juga bisa mengenakan pidana tambahan dengan
merampas harta hasil korupsi, pembayaran uang pengganti sebesar jumlah yang
dikorupsi, atau penutupan usaha, dan pencabutan hak tertentu kepada koruptor
sebagaimana tercantum pada pasal 18 UU Tipikor.
Tapi apakah
pernah hal ini dikenakan secara maksimal? Rasanya selain hukuman penjara seumur
hidup kepada Akil Mochtar, majelis hakim masih menimbang hal lain dalam
memvonis pidana korupsi bagi koruptor lain sehingga tidak mengenakan hukuman
maksimal.
Kemudian apa
sebenarnya yang ingin dicapai? Indonesia bebas korupsi bukan? Melihat kondisi
yang ada sampai dengan saat ini, sampai kapan lagi kita harus menunggu kondisi
itu tercipta?
Dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi, perlu dilakukan upaya yang luar biasa,
karena kejahatan korupsi adalah kejahatan yang juga luar biasa dengan nilai
keadilan yang terdampak adalah seluruh rakyat Indonesia. Upaya apa sebetulnya
yang dapat membuat koruptor jera, dan bahkan memberikan efek kejut agar para
pejabat atau siapapun tidak akan berpikir untuk melakukan korupsi. Dan upaya
tersebut menurut saya adalah dengan memiskinkan para koruptor.
Pertanyaan
berikutnya adalah caranya?
Menurut
pendapat saya secara utuh perlu dilakukan penegakan hukum untuk 3 (tiga) aspek
yang saling terkait dalam tindak pidana korupsi. Ketiga hal tersebut adalah:
1. Tindak
pidana korupsi itu sendiri;
2. Tindak
pidana pencucian uang; dan
3. Tindak
pidana perpajakan.
Perlu kita
lihat secara utuh bahwa korupsi biasanya tidak berdiri sendiri, bisa kita lihat
pada kasus Gayus atau Akil Mochtar.
Logika sederhananya
adalah seperti ini, ketika Gayus melakukan korupsi maka dia melakukan
perputaran uang hasil korupsinya tersebut dalam bentuk aset atau investasi,
kemudian perlu dilakukan pengecekan dan dapat dipastikan bahwa aset-aset
tersebut sumber penghasilannya tidak akan dilaporkan di SPT pajaknya. Berarti
jelas, korupsi sudah dilakukan, pencucian uang telah dilakukan, dan
penghindaran pajak telah dilakukan.
Sekarang, mari
kita lihat apakah penindakan korupsi sudah mengupas ketiga hal tersebut, apakah
dimensi dari penindakan korupsi sudah selengkap itu, atau lebih sederhana lagi
apakah perpajakan pernah diikutsertakan dalam membangun struktur tuntutan bagi
koruptor.
Dari ketiga
aspek tersebut, sepertinya hanya pajak yang tidak pernah disentuh. Kita lihat
bahwa selama ini institusi perpajakan Indonesia masih dalam taraf dijadikan
objek pemberantasan korupsi oleh KPK. Tapi kapan kira-kira pajak pernah
digandeng kalau tidak dipanggil untuk diajak menjadi subjek pemberantasan
korupsi? Sedangkan perpajakan sendiri memiliki dimensi yang sangat kompleks
yang mungkin bisa menjadi senjata pamungkas dalam “membunuh” koruptor. Ironis
memang, tapi itu kenyataan yang ada, institusi pajak seperti kucing dengan
taring macan yang antara senjata dengan badannya sendiri tidak proporsional
untuk digunakan.
Di bulan ini
saja, isu terkait pajak sudah beberapa kali dilontarkan oleh KPK, yang terakhir
adalah “ancaman” oleh KPK bagi para pengusaha tambang yang tidak ber-npwp.
Tragis bukan, bahkan untuk administrasi sesederhana itu saja institusi pajak
perlu meminjam “badan”nya KPK hanya untuk mengaum, belum sampai proses
menggigit. Institusi pajak sudah sangat kepayahan, bahkan Direktur Jenderal
Pajak terkesan seperti anak cengeng yang terus menerus permintaannya tidak
dikabulkan oleh Ibunya sendiri terkait kapasitasnya yang sudah lagi bukan
kedodoran tapi sudah hampir kolaps.
Masing-masing
capres sudah memasang target tax ratio yang rata-rata 16%, maka menurut saya
jangan berharap institusi pajak kita bisa
menggigit para koruptor, tenaganya yang mungkin sudah terkuras habis saja
sepertinya tidak akan mampu mencapai target tax ratio yang ada saat ini apalagi
untuk mencapai 16%.
Problem lainnya
adalah, selain kapasitas, status institusi pajak kita yang masih dibawah
Kementerian akan terus menjadi dinding pemisah antara pemberantas korupsi lain.
Seperti KPK dan PPATK, institusi perpajakan sudah seharusnya berbentuk kuasi
yudisial, independen dan mempunyai fleksibilitas. Institusi pajak, seharusnya
berdiri sedepa sebahu dengan kedua institusi pemberantas korupsi lain, sudah
seharusnya ketika ada dugaan pidana korupsi atau pencucian uang, institusi
perpajakan pro-aktif melakukan pencairan data dan berkoordinasi dengan PPATK
dan KPK untuk melakukan penindakan, dan begitu sebaliknya dengan kedua
institusi lain. Tujuannya? Membuat koruptor miskin, bahkan sampai tujuh
turunan.
Mungkin suatu
saat, angka korupsi kita akan nol. Mungkin kita akan jadi negara sejahtera,
yang masyarakatnya merasa keadilan tidak lagi semu, tidak terzalimi oleh
pejabatnya yang korup dan tamak. Mungkin suatu saat nanti, korupsi akan diingat
hanya sebagai cerita atau dongeng bahwa pernah ada angkara murka bernama
korupsi yang akhirnya musnah setelah dibunuh oleh sebuah senjata pamungkas.
Kapan
kemungkinan-kemungkinan itu terjadi?
Rasanya setelah
institusi perpajakan sudah setara dengan KPK dan PPATK, dan ketiganya menjelma
menjadi Trisula, senjata pamungkas yang membunuh si angkara murka bernama
korupsi.
Karena itulah, ada sudah sepatutnya
menjadi perenungan kita bersama untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan
menguatkan institusi perpajakan Indonesia menjadi independen atau otonom.
Memang tidak mudah untuk meyakinkan
banyak pihak akan perlu dan pentingnya penguatan institusi pajak. Ada dua hal
besar yang menjadi kendala.
Pertama, institusi pajak adalah
institusi yang dapat mengetahui sumber daya keuangan seluruh warga negaranya.
Selain menganut sistem self-assessment, sistem perpajakan kita menganut sistem
withholding. Jika sistem self-assessmentassessment adalah setiap warga negara
menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri, maka withholding adalah
menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban pihak lain. Kedua sistem ini
sebenarnya sistem yang cocok untuk mendetek setiap transaksi yang terjadi. Jika
seseorang tidak melaporkan penghasilannya, maka ada pihak lain yang melaporkan.
Sistem ini tentu menjadi sangat kuat apabila dikelola oleh institusi pajak yang
diberi kewenangan dan otoritas yang lebih dibanding saat ini.
Kedua, jika dicermati dalam
ketentuan perpajakan, instrumen pajak adalah sarana penegakan hukum yang handal
untuk menjerat berbagai tindak kejahatan kerah putih, termasuk di dalamnya
korupsi. Dengan menerapkan ketentuan pajak, seseorang dapat dimiskinkan. Suatu
kasus misalnya, terjadi kegiatan mark-up dan ada aliran dana ke si A sejumlah
Rp1 miliar. Dalam definisi pajak, aliran dana yang berupa tambahan kekayaan
adalah tambahan penghasilan yang dikenakan pajak. Secara self assesment dan
sistem tarif pajak progressif, si A wajib melaporkan penghasilan tersebut dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan membayar pajaknya dengan tarif, misalnya
paling tinggi 30 persen untuk Orang Pribadi, atau sebeesar Rp300 juta. Apabila
si A tidak melaporkan dan tidak membayar pajaknya, maka dapat dikenakan sanksi
pidana sesuai Pasal 39 UU KUP sebesar 4 kalinya, sehingga harus membayar denda
sebanyak Rp1.2 miliar (belum termasuk pokok pajak yang seharusnya terutang).
Ini berarti, si A tidak saja mengembalikan uang Rp1 Miliar, namun lebih dari
itu.
Dengan demikian, sudah saatnya kita
bahu-membahu untuk memberikan dukungan kepada institusi pajak untuk dikuatkan
agar negara kita bebas korupsi untuk menuju Indonesia sejahtera.
Partisipasi Saudara sebagai Warga
Negara Indonesia yang peduli dalam mewujudkan hal tersebut dapat memberikan
dukungan dengan menandatangani kedua petisi di sini
dan di sini.
Dengan menandatangani kedua petisi
tersebut, berarti anda telah peduli terhadap nasib bangsa ini.
Terima kasih atas partisipasi
Saudara, PAJAK SEHAT, NEGARA KUAT, BEBAS KORUPSI…
SALAM ANTI KORUPSI.
Sumber :
http://hukum.kompasiana.com/2014/06/27/apakah-ada-cara-memberantas-korupsi-jawabannya-ada-yaitu-dengan-memiskinkan-koruptor-664676.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar