Korupsi
dan Institusi Publik Kita
Baru-baru
ini Transparansi Internasional (TI) merilis data survei tentang
institusi-institusi korup Indonesia. Hasil survei TI yang diselenggarakan
September 2012 hingga maret 2013 menunjukkan intitusi-intitusi politik,
birokrasi, swasta, dan sosial masih dilingkari penyakit kronis korupsi.
Ironisnya, institusi penegak hukum (Polri) dan pembuat peraturan hukum (Parlemen)
berada di posisi terkorup dari institusi-institusi lainnya. Sejatinya
institusi-institusi tersebut adalah ruang dimana hukum dan keadilan dapat
ditegakkan.
Korupsi
seolah membudaya dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Kasus korupsi
bermunculan dari berbagai level pemerintahan dan terjadi diberbagai institusi
manapun. Dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, misalnya, acapkali para
pemilik kekuasaan memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri. Kasus korupsi
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik ini terjadi di tingkat
pemerintah pusat dan daerah serta dilakukan pejabat level bawah hingga
tertinggi. Dalam proses politik juga menjadi ruang subur tumbuhnya korupsi. Para
pemangku kepentingan menjadikan kepentingan pribadi dan kelompok sebagai
landasan pembentukan kebijakan sehingga mengarah kepada keuntungan pribadi dan
kelempok tertentu, bukan kepentingan publik.
Hemat
saya proses penentuan kebijakan (proses politik) dan penyelenggaraan pelayanan
publik menjadi satu kesatuan ruang yang saling mendukung pembudayaan korupsi.
Kedua ruang tersebut saling terkait dalam memperkuat gerakan tindakan korupsi.
Berikut ini penulis menguraikan bagaimana wajah ruang politik penuh dengan
permainan kepentingan yang mengarah kepada tindakan korupsi. Dan selanjutnya
penulis menguraikan bagaimana wajah ruang pelayanan publik syarat dengan
tindakan korupsi. Kedua ruang ini syarat dengan tindakan transaksional yang
menguntungkan para pemangku kepentingan khususnya yang memiliki akses kekuasaan
dan kewenangan.
Proses Politik
dan Institusi Korup
Proses
politik dalam penentuan kebijakan merupakan ruang dimana pemangku kepentingan seperti
eksekutif, legislatif, pengusaha, dan masyarakat sipil secara bersama-sama menentukan
kebijakan publik. Para pemangku kepentingan berinteraksi untuk membicarakan
bentuk dan muatan kebijakan yang akan disepakati bersama. Sebagai negara
demokrasi, interaksi pemangku kepentingan dalam proses penentuan kebijakan
dipandang sebagai hal yang wajar, dan tentunya interaksi tersebut harus
berlandaskan nilai-nilai demokrasi. Interaksi pemangku kepentingan diarahkan
menentukan kebijakan untuk mengatasi persoalan-persoalan publik yang dinilai
bermasalah. Pada praktiknya, justru pemangku kepentingan membuat kebijakan
untuk memperbanyak adanya persoalan-persoalan publik seperti kemiskinan,
pengangguaran, dan persoalan-persoalan sosial lainnya.
Hemat
saya banyaknya kebijakan bermasalah disebabkan kuatnya pengaruh kekuasaan
eksekutif dan legislatif dalam penentuan kebijakan. Menurut Lord Acton
“kekuasaan yang kuat cenderung korup”. Tesis Acton ini benar-benar nyata
terjadi pada lingkaran kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan
peran dan fungsinnya sebagai aktor pembuat dan pelaksana kebijakan. Acapkali
eksekutif dan legislatif membuat kebijakan terutama membuat kebijakan anggaran
(APBN/D) dilandasi kepentingan pragmatis, dimana mereka saling menguntungkan
untuk pribadi dan golongan.
Budaya
korup eksekutif dan legislatif semakin diperkuat adanya peran kelompok-kelompok
berjuasi (pengusaha) yang berusaha mempengaruhi dan mengarahkan eksekutif dan
legislatif untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menguntungkan mereka
secara ekonomi. Fenomena ini tampak nyata dari beberapa kasus korupsi yang
terjadi akhir-akhir ini. Kasus korupsi daging sapi, misalnya, tidak lepas dari
peran borjuisi importer yang berusaha mempengaruhi pemilik kekuasaan dan
kewenangan dalam mengatur kebijakan impor daging sapi. Pada kasus ini pengaruh
borjuisi begitu kuat hingga menggoyahkan “iman”
penguasa untuk melakukan tindakan korupsi. Kasus SKK Migas, juga menjadi contoh
nyata adanya peran pengusaha atau
borjuisi yang melakukan upaya kolusif dengan pemilik kekuasaan hingga berakhir
pada kesepakatan yang sama yakni mengambil keuntungan besar dari proyek-proyek
migas.
Proses
politik dalam penentuan kebijakan masih menjadi lahan subur bagi oknum-oknum
tertentu untuk memperkaya diri. Proses politik tak ubah ruang sandiwara pemilik
kekuasaan untuk bercanda tawa di atas penderitaan rakyat. Karena itu,
keberadaan institusi-institusi publik kita hanyalah alat bagi oknum-oknum untuk
bersandiwara mencari kekayaan. Fenomena ini telah didiskusikan secara serius
oleh Karl Marx dan kawan-kawannya. Karl Marx hingga ia mati tidak berkeyakinan
bahwa negara (eksekutif, legislative, yudikatif, dan kelompok-kelompok
borjuasi) akan memperhatikan kepentingan umum (masyarakat) seperti yang
diyakini filosof Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau, Mountesquine, dan
Hegel. Justru menurut Karl Marx negara adalah alat kelompok-kelompok penguasa
dan burjuasi untuk memperkaya diri serta menindas kelompok-kelompok yang lemah.
Pada konteks ini, berdasakan uraian sebelumnya, hemat saya konsepsi Karl Marx
tentang negara masih tampak nyata dalam kehidupan politik dan pemerintahan
Indonesia.
Wajah
Pelayanan Publik
Proses
korup penentuan kebijakan seperti yang dijelaskan di atas melahirkan
kekecewaan-kekecewaan masyarakat terhadap institusi-institusi publik yang
awalnya diharapkan dapat melahirkan kebijakan-kebijakan pro rakyat untuk
kemajuan bangsa dan negara. Kekecewaan tersebut semakin diperkuat lagi dengan
wajah buruk pelayanan publik yang diselenggarakan oleh intitusi-institusi
publik kita. Sejatinya keberadaan institusi-institusi publik adalah untuk
melayani masyarakat dengan baik, murah, dan tanpa diskriminasi.
Secara
normatif pemerintah telah membentuk sejumlah payung hukum untuk menjamin
terselenggarannya pelayanan publik yang murah, cepat, dan tanpa diskriminasi.
Undang-Undang tentang
pelayanan publik mengatur dengan baik mekanisme dan tata cara penyelenggaraan
pelayanan publik, bahkan dalam undang-undang tersebut mengatur prilaku dan
karakter penyelenggara pelayanan publik seperti bagaimana wajah ditampilkan
ketika melayani masyarakat dan bagaimana cara berbicara dan cara senyum kepada
masyarakat. Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informas
Publik juga menjamin terselenggarannya pelayanan publik yang transparan dan
tanpa diskriminatif. Dalam undang-undang KIP ini diatur kewajiban penyelenggara
(badan) publik untuk menyampikan informasi publik yang tepat, murah, dan tidak
memanipulasi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat berhak untuk mengetahui segala
informasi publik termasuk terkait dengan standar pelayanan publik.
Pada
kenyataannya, justru intitusi publik memanfaatkan fungsi penyelenggaraan
pelayanan publiknya untuk mendapatkan keuntungan sehingga pelayanan publik
masih sangat mahal dan cenderung diskriminatif. Pelayanan pendidikan dan
kesehatan, misalnya, kendati pemerintah telah mengeluarkan kebijakan anggaran
20% untuk pendidikan dan kesehatan namun faktanya masih banyak masyarakat belum
mendapatkan pelayanan memadai dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Masih
banyak fenomena masyarakat putus sekolah diakibatkan mahalnya biaya pendidikan,
dan masih banyak masyarakat yang tidak berobat ke tempat-tempat pelayanan
kesehatan karena mahalnya biaya kesehatan. Pelayanan administratif seperti
pembuatan Kartu Tanda Penduduk, sertifikat tanah, surat ijin mengemudi, ijin
usaha, dan ijin bangunan dinilai masih syarat dengan prosedural dan mahal.
Titik
persoalan sulitnya masyarakat mengakses pelayanan publik seperti yang
digambarkan di atas adalah dikarenakan paradigma birokrasi pemerintah yang berorientasi
prosedur dan biaya. Birokrasi pemerintah ketika melayani masyarakat selalu
menyodorkan prosedur-prosedur yang rigid
dan membuat masyarakat kebingungan untuk melewatinya sehingga pelayanan publik
memakan waktu yang cukup lama dan sulit didapatkan bahkan. Pada sisi lain,
birokrasi pemerintah selalu mempermudah pelanggan untuk mendapatkan layanan
prima manaka pelanggan memiliki uang untuk membayarnya dan atau memiliki “orang
dalam”. Karena itu, pelayanan publik masih syarat unsur diskriminatif. Mayoritas
birokrasi pemerintah masih menjadikan fungsi pelayanan publik sebagai alat
untuk memperkaya diri.
Uraian
di atas menggambarkan bahwa ruang politik dan pelayanan publik merupakan dua
variabel yang saling bersinggungan dijadikan oleh oknum-oknum tertentu sebagai
tempat untuk memperkaya diri sehingga tindakan korupsi berjalan sistimatis dan
membudaya. Wajah korup ruang politik dan pelayanan publik membawa dampak serius
bagi rusaknya sendi-sendi kebangsaan dan kenegaraan. Karena itu, dibutuhkan
langkah-langkah serius seluruh stakeholder
bangsa untuk mewujudkan wajah ruang politik dan pelayanan publik yang
berkeadaban sehingga menjadi tempat strategis untuk melahirkan
kebijakan-kebijakan populis serta pelayanan publik yang berkemanusiaan.
sumber :
Oleh Jainuri, M.Si.
(Dosen FISIP Univ. Muhammadiyah Malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar