Rabu, 02 Juli 2014
Kepemimpinan Bermental Kecil
Dengan kepemimpinan yang bermental kecil, sulit membayangkan bangsa besar ini bisa meraih keagungan. Bahasa politik menjadi siasat untuk membuat kebohongan terkesan benar, kelambanan terkesan hati-hati, ketidakbertanggungjawaban terkesan ketidakintervensian, ketidakseriusan terkesan kesabaran, ketidakmampuan terkesan ketergangguan, dan pengkhianatan terkesan sebagai korban.
Seorang munsyi bertanya kepada orang biasa, "Bagaimana pidato pemimpin kita hari ini?" Orang itu pun menjawab enggan, "Seperti biasa, Pak. Pemimpin kita bicara kebohongan!" Suatu spontanitas kesimpulan yang mengandung kegawatan. Di republik ini, ucapan pemimpin dianggap laksana lautan pasir kebohongan sehingga bukan hanya merupakan kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar negara.
Bagaimana bisa? Yang utama, sebab politik sebagai teknik terus dikembangkan, tetapi sebagai etik diabaikan. Yang berkembang adalah politik sebagai seni manipulasi, bukan sebagai seni kebaikan hidup. Pusat kepeduliannya berhenti sebagai usaha mengelola pencitraan, bukan mengelola kenyataan.
Maka, tibalah kita pada fase sejarah yang murung. Bahkan, pemimpin agama, sebagai benteng bahasa kesabaran, sudah berada di ambang kejebolan tanggul toleransinya. Bahkan, seorang resi yang maarif tak punya kosakata lain untuk melukiskan pemerintahan selain kata "bohong".
Bahasa politik menjadi siasat untuk membuat kebohongan terkesan benar, kelambanan terkesan hati-hati, ketidakbertanggungjawaban terkesan ketidakintervensian, ketidakseriusan terkesan kesabaran, ketidakmampuan terkesan ketergangguan, dan pengkhianatan terkesan sebagai korban.
"Kebohongan" untuk tujuan kebaikan dimungkinkan dalam politik. Namun, kedunguan politik terjadi manakala pemimpin percaya rakyat selalu bisa dibohongi. Konsistensi dalam inkonsistensi akan menimbulkan sikap apriori pada diri rakyat. Apa pun ucapan pemimpin, sekalipun sekali-kali ada benarnya, akan dipandang sebagai kebohongan.
Maka, tibalah kita pada fase sejarah yang murung. Bahkan, pemimpin agama, sebagai benteng bahasa kesabaran, sudah berada di ambang kejebolan tanggul toleransinya. Bahkan, seorang resi yang maarif tak punya kosakata lain untuk melukiskan pemerintahan selain kata "bohong".
Membayangkan kisah akhir di ujung terowongan kemurungan menimbulkan tanda tanya besar, mengapa pemimpin negeri begitu cepat mereproduksi keburukan masa lalu dan begitu lambat mengembangkan kebaikannya. Mengapa perubahan demi perubahan prosedur demokrasi tidak membawa transformasi dalam watak kekuasaan?
Salah satu sebabnya adalah demokrasi yang kita kembangkan tidak membawa perubahan struktural dalam politik dan ekonomi. Sebaliknya, demokrasi padat uang yang dikembangkan selama era reformasi bukan hanya menimbulkan kesenjangan sosial yang makin lebar, melainkan juga menjadikan pemimpin menjadi tawanan kekuatan pemodal.
Dengan demokrasi padat uang, rekrutmen kepemimpinan yang dikembangkan lebih mengandalkan sumber daya "alokatif" ketimbang "otoritatif". Yang pertama berarti kemampuan kontrol atas fasilitas material, sedangkan yang kedua adalah kemampuan kontrol atas aktivitas manusia lain berdasarkan kewibawaan visi dan ideologi. Yang dipikirkan bukanlah kapasitas transformatif dari kekuasaan, melainkan daya beli dari pemimpin. Akibatnya, partai politik gagal mereproduksi intelektual organiknya. Pemimpin yang punya bibit karismatik sebagai pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti logika "alokatif" yang cepat menggerus kewibawaannya.
Situasi krisis dan transisional memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar sekaligus pemimpin besar dibandingkan pada masa normal dan stabil. Namun, politik padat modal justru cenderung melahirkan pemimpin yang mengutamakan gebyar lahir ketimbang isi batin; pemimpin pencitraan ketimbang pemimpin kenyataan.
Di bawah fitur kepemimpinan seperti itu, memimpikan transformasi kenegaraan secara fundamental ibarat pungguk merindukan bulan. Seperti kata Vaclav Havel, "Adalah mustahil menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar itu, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Manusia harus menemukan dalam dirinya rasa tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri."
Dengan kepemimpinan yang bermental kecil, sulit membayangkan bangsa besar ini bisa meraih keagungan. Dalam peringatan Isra Mikraj pada 7 Februari 1959, Soekarno mengingatkan, "Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu, jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin miraj—kenaikan ke atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka Bumi (sirna ilang kertaning Bumi)."
Alhasil, kemurungan ini tidak bisa diakhiri hanya dengan penghentian kebohongan. Harus ada perubahan fundamental secara struktural dan kultural dalam kehidupan politik serta ekonomi. Prasyarat struktural dan kultural ini sesungguhnya telah dipikirkan pendiri bangsa ketika merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Namun sebegitu jauh, mentalitas korup yang berpadu dengan mentalitas budak membuat prinsip ideologi dan konstitusi negara itu disalahgunakan atau direndahkan dibandingkan dengan ajaran yang diimpor. Singkat kata, tidak cukup membongkar kebohongan. Diperlukan juga pembongkaran atas sistem dan mentalitas. Opini TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Oleh Yudi Latif, Ph.D, Pemikir Keagamaan dan Kenegaraan, Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia (PSIK-Indonesia). Pernah juga diterbitkan di Harian Kompas Selasa, 18 Januari 2011 di bawah judul: Kebohongan Menuju Kebenaran.
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/329-opini/3640-kepemimpinan-bermental-kecil
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar