MASIH KAH KITA PERDULI TERHADAP
KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN DI INDONESIA ??
Sebagai warga negara, rakyat miskin
mempunyai hak dasar yang melekat pada dirinya untuk mendapatkan pemeliharaan
hidup oleh negara, termasuk memelihara kesehatan, sebagaimana dijamin dalam
konstitusi dasar negara, UUD `45, Pasal 28 H.
Sebagai konsekuensinya, tentu negara
harus bertanggung jawab melindungi, menjaga, dan memelihara kesehatan seluruh
warganya tanpa kecuali dan khususnya warga negara yang hidup dalam deraian
kemiskinan dan selalu rentan terhadap aneka jenis penyakit.
Mereka yang hidup dalam kecukupan
tentu akan memelihara kesehatannya melalui asupan gizi yang berkecukupan dengan
sistem pemeliharaan kesehatan yang juga memadai. Namun, bagi si miskin,
persoalan pemeliharaan kesehatan, hingga keluar dari idapan penyakit akan
menjadi lain, di tengah ketidakmampuan mereka terhadap akses pelayanan
kesehatan serta himpitan beban ekonomi.
Di sinilah negara harus bertindak
secara tepat sasaran untuk meringankan beban penderitaan rakyat miskin. Baik
pemberdayaan secara ekonomi, hingga meringankan beban warga negara miskin, yang
juga terhimpit penyakit akibat kemiskinan itu sendiri.
Konstitusi dasar negara UUD 1945,
sesuai amandemen Pasal 33 dan 34, mengamanatkan agar negara memberikan
perlindungan atau jaminan sosial bagi seluruh rakyat yang tidak mampu dan
lemah, atau yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negara sekaligus
pimpinan eksekutif, wajib menjalankan amanat UUD 1945, melalui berbagai program
sistematis bagi orang miskin.
Harus diakui, berbagai program untuk
rakyat miskin telah diluncurkan dari rezim ke rezim. Sebut saja program
Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Asuransi Rakyat Miskin
(Askeskin) di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla, yang
kini disibukkan oleh mandeknya klaim pembayaran, serta penarikan pengelolaan
Askeskin dari PT Askes ke tangan Depkes oleh Menkes Siti Fadilah.
Umumnya program untuk rakyat miskin,
baik bersifat crash atau sustain (berkesinambungan), kerap
mengalami persoalan implementasi di lapangan dan berakhir pada salah sasaran,
pemborosan hingga penyelewengan anggaran. Termasuk banyaknya penikmat fasilitas
rakyat miskin oleh mereka yang tidak miskin karena lemahnya pengawasan dan rendahnya
kesadaran publik akan haknya.
Persoalan klasik dan mendasar kerap
pada patokan (benchmark) ketersediaan dan kesahihan data/jumlah rakyat
miskin yang digunakan instansi pemerintah, dalam mengeksekusi aneka program
tersebut. Padahal, anggaran untuk program-program sejenis bisa menghabiskan
puluhan triliun rupiah.
Sebut saja program Askeskin yang
efektif berlaku sejak tahun anggaran 2005, sebagai embrio implementasi Sistem
Jaminan Sosial Nasional sesuai amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang
SJSN, ditujukan untuk mewujudkan Jaminan Kesehatan Nasional dan
menyeluruh (universal coverage), sekaligus meningkatkan aksesibilitas
masyarakat miskin dan tidak mampu memperoleh pelayanan kesehatan berkualitas.
Namun, dalam pelaksanaannya,
koordinasi, verifikasi, hingga pemutakhiran data rakyat miskin, yang seyogianya
jadi pijakan dasar program, seringkali dianggap enteng oleh instansi pelaksana,
mulai dari tingkat daerah hingga jajaran pusat atau tingkat kementerian.
Angka Rakyat Miskin
Angka Rakyat Miskin
Walau menjadi kewajiban negara untuk mengimplementasikan amanat konstitusi terhadap warga negara yang hidup dalam kemiskinan, tentu goodwill negara untuk merealisasikan asuransi kesehatan rakyat miskin (Askeskin), patut diapresiasi.
Sejak tahun pertama 2005, terdapat
Rp 2.3 triliun alokasi dana Askeskin. Dan berturut tahun 2006 sebesar Rp 3,6
triliun, 2007 Rp 2,2 triliun dan untuk 2008 telah dianggarkan Rp 4,6 triliun.
Artinya, total anggaran mencapai Rp 12,7 triliun, sementara jumlah rakyat
miskin yang harus di-cover tahun ini sebanyak 76,4 juta orang, atau
sekitar 30 persen dari total penduduk Indonesia.
Menarik mencermati angka-angka yang
dipaparkan instansi pemerintah dalam cakupan rakyat miskin. Badan Pusat
Statistik-BPS, misalnya, pada awal Juli 2007 melansir jumlah penduduk miskin
hingga Maret 2007 sebanyak 37,17 juta jiwa, atau mengalami pengurangan sebesar
2,13 juta jiwa. Artinya, sekitar 16,58 persen dari 224,177 juta
penduduk Indonesia. Hitungan matematika sederhana, angka ini mengalami
penurunan jumlah rakyat miskin dicatatkan lembaga yang sama pada Maret 2006
sebanyak 39,30 juta atau 17,75 persen dari 221,328 juta total penduduk
Indonesia saat itu.
Apakah angka ini menjadi rujukan
instansi-instansi pemerintah dalam membuat dan menjalankan program bagi rakyat
miskin? Jawabannya mungkin “tidak”. Kalau melihat pemaparan dari pelaksanaan
program Askeskin oleh PT Askes (Persero) yang ditunjuk melalui SK Menkes
No.1241/Menkes/ SK/X/2004, juncto 1202/Menkes/SK/VIII/2005,
sebagai pelaksana tunggal Program Askeskin dengan bayaran management fee
sebesar 5 persen dari hampir Rp 8 triliun total dana Askeskin hingga 2007 yang
dikucurkan pemerintah, maka jumlah rakyat miskin sebagai peserta Askeskin akan
mencengangkan bila dibandingkan paparan BPS.
Menurut PT Askes, jumlah kepesertaan
rakyat miskin dalam Program Askeskin berdasarkan data Gakin (keluarga miskin)
yang kemudian dikoordinasikan dengan pemda, pada semester I 2005 sebanyak 36
juta jiwa. Semester II 2005 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 60 juta
jiwa. Pada 2006 sebanyak 60 juta jiwa, sedangkan 2007 menjadi 76,4 juta jiwa
dari 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) dengan asumsi masing-masing anggota
keluarga 4 orang. Anehnya lagi, dalam pengelolaan anggaran Askeskin 2008
sebesar Rp 4,6 triliun, jumlah rakyat miskin tidak bergerak alias tetap di
posisi 76,4 juta jiwa.
Perhitungan Depkes sebagai pengelola
baru Askeskin, dana yang tersedia diperkirakan mampu meng-cover sekitar
41 juta rakyat miskin. Artinya nasib sekitar 35,4 juta siap-siap terkapar
akibat tidak mendapatkan akses kesehatan. Kalau beranjak dari perbandingan
data-data BPS dan PT Askes/Depkes menyangkut keberadaan rakyat miskin, terlihat
jelas perbedaan signifikan, sebesar 37,23 juta jiwa atau lebih dari dua kali
lipat jumlah rakyat miskin versi BPS. Artinya, kalau ikut versi PT
Askes/Depkes, maka rakyat miskin yang berhak mendapatkan Askeskin, hampir 33
persen dari total penduduk Indonesia, atau setara dengan total penduduk Mesir,
yang jumlahnya 76 juta lebih, sesuai versi CIA World Factbook 2004.
Selisih 37 jutaan tentu bukanlah
angka kecil, apalagi menyangkut anggaran negara yang akan dialokasikan dalam
program kesehatan rakyat miskin. Bayangkan, jika masing-masing dialokasikan
biaya berobat dan pemeliharaan kesehatan setiap bulan Rp 9.000, maka untuk
jumlah tersebut dibutuhkan biaya sebesar Rp 333 miliar yang harus ditanggung
anggaran negara atau hampir Rp 4 triliun dalam satu tahun.
Namun, melihat kekacauan dari
pendataan, yang akhirnya berakibat pada amburadul dan tumpang-tindihnya
pelaksanaan, membuktikan kurangnya awareness dari pelaksana
atas data yang diikuti indikator-indikator dan kriteria yang digunakan dalam
menentukan apakah seseorang masuk kategori miskin atau tidak.
Seharusnya, pelaksana kebijakan
lebih tanggap dan peduli pada persoalan data melalui instrumen perhitungan
dengan metode memadai secara ilmiah dan akurat agar bisa menjadi pedoman dalam
mengimplementasikan setiap program termasuk kebijakan politik anggaran. Belum
lagi realitas sosial menunjukkan, kemiskinan tidak bisa sekadar diukur dengan
kacamata statistik belaka, tetapi berbagai faktor dan indikasi di lapangan
harus menjadi pertimbangan, termasuk faktor geografi tempat rakyat miskin
berada.
Persoalan kemiskinan dan kesehatan
merupakan masalah besar yang dihadapi Indonesia dan juga dunia. Kita
hanya mengingatkan agar Presiden Yudhoyono tidak menganggap enteng realitas
kemiskinan di republik ini. Sebagai presiden yang juga dipilih langsung rakyat
miskin, saatnya Yudhoyono menjamin adanya perlakuan memadai dan berdaya guna
bagi kelangsungan kesehatan rakyatnya.
Kemiskinan dan kesehatan, dua hal
yang tidak terpisahkan. Musuh terbesar dari kesehatan dalam membangun dunia
adalah kemiskinan itu sendiri. Seperti diungkapkan Kofi Annan dalam pidatonya
sebagai Sekjen PBB di World Health Assembly 2001, The biggest enemy of
health in the developing world, is poverty. Pertanyaannya, bagaimana
menangani nasib rakyat miskin, kalau jumlahnya saja masih simpang-siur, bahkan
pengelolaannya berorientasi proyek dan lupa akan substansi?
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar